Ananiyah
Ananiyah berasal dari kata ana artinya ‘aku’, Ananiyah berarti
‘keakuan’. Sifat ananiyah ini biasa disebut egoistis yaitu sikap hidup
yang terlalu mementingkan diri sendiri bahkan jika perlu dengan
mengorbankan kepentingan orang lain. Sikap ini adalah sikap hidup yang
tercela, karena cenderung berbuat yang dapat merusak tatanan pergaulan
kehidupan bermasyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari penyakit mental ini
dapat diketahui dari sikapnya yang selalu mementingkan dan mengutamakan
kepentingan dirinya diatas segala-galanya, tanpa mengindahkan
kepentingan orang lain.
Apakah demi kepentingan dirinya akan mengorbankan orang lain. Hal ini tidak akan menjadi pertimbangannya.
Dampak Negatif Dari Sifat Ananiyah
Sifat Ananiyah akan melahirkan sifat Egosentris, artinya mengutamakan
kepen-tingan dirinya diatas kepentingan segala-galanya. Mereka melihat
hanya dengan sebelah mata bersikap dan mengambil tindakan hanya didorong
oleh kehendak nafsu. Nafsulah yang menjadi kendali dan mendominasi
seluruh tindaknnya. Standar kebenaranpun ditentukan oleh kepentingan
dirinya. Hal semacam ini di larang.
Allah subhanahu wa ta'ala berfirman :
“Sekiranya kebenaran itu harus mengikuti kemauan hawa nafsu mereka saja
tentulah akan binasa langit dan bumi dan mereka yang ada di dalamnya”.
(Q.S. Al-Muminun ayat : 71)
Dari sifat ananiyah yang hanya memperturutkan hawa nafsunya sendiri
akan lahir sifat-sifat lain yang berdampak negatif dan merusak,
misalnya, sifat bakhil, tamak, mau menang sendiri, dhalim, meremehkan
orang lain dan ifsad (meru-sak). Jika tidak segera ditanggulangi sifat
ananiyah akan berkembang menjadi sifat congkak dan kibir dengan ciri
khasnya Bathrul Haq menolak kebenaran, Ghomtun Nas dan meremehkan
manusia. (H.R. Muslim dari Abdullah bin Mas’ud)
Jika sifat ini menjangkiti orang-orang yang memiliki wewenang dan
potensi besar bahayanya akan berdampak luas. Peng-usaha dengan sifat
ananiyah akan meng-gunakan kekayaannya untuk memonopoli ekonomi dengan
tidak segan-segan meng-gilas pengusaha kecil dan menyingkirkan
pengusaha-pengusaha yang dianggap saingannya, mengeruk keuntungan
sebanyak-banyaknya dengan cara dhalim dan dengan menghalalkan segala
cara.
Bila penyakit ananiyah menjangkiti seorang pengusaha akan cenderung
bersifat diktator, tiranis, dan absolut. Seperti halnya Fir’aun, Namrud
yang memerintah dengan semena-mena. Dalam kehidupan sehari-hari bila
penyakit mental ini melekat pada diri seseorang akan cenderung mental
ini melekat pada diri seseorang akan cenderung sulit diatur dan merusak
pergaulan dengan kedha-liman, setidak-tidaknya sering menim-bulkan
masalah. Sementara mereka menganggap benar apa yang mereka lakukan.
Firman Allah subhanahu wa ta'ala :
“Dan bila dikatakan kepada mereka: “Janganlah kamu membuat kerusakan di
muka bumi”. Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami orang-orang yang
mengadakan perbaikan”. (QS. Al-Baqoroh : 11)
Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam bersabda :
“Dari Abdulloh ibnu Umar r.a., Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi wa
sallam: “Aniaya itu menjadi kegelapan di hari kiamat”. (HR. Bukhori di
dalam kitab shahihnya).
Dari Abi Hurairoh r.a. Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam
bersabda: “Siapa yang merusak nama baik atau harta benda orang lain maka
minta maaflah kepadanya sekarang ini, sebelum datang di mana mata uang
tidak laku lagi. Kalau ia mempunyai kebajikan, sebagian amal baiknya itu
akan diambil sesuai dengan kadar perbuatan aniayanya. Kalau ia tidak
mempunyai amal baik, maka dosa orang lain itu diambil dan ditambahkan
pada dosanya”. (HR. Bukhori dalam kitab shahihnya)
Sifat ananiyah juga sering menimbulkan sikap permusuhan, padahal sikpa
per-musuhan itu sangat dibenci Allah. Rasulullah Shallallahu’alaihi wa
sallam bersabda :
“Dari Aisyah r.a. dari Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi wa sallam,
Beliau bersabda: “Orang yang paling dibenci Allah ialah orang yang
paling suka bermusuhan”. (HR. Bukhori)
Lawan Dari Sifat Ananiyah
Lawan dari sifat ananiyah adalah itsyariyah yaitu rasa kebersamaan,
kepekaan sosial dalam pergaulan sehingga mereka mendahulukan kepentingan
ummat atau masyarakat walaupun terkadang memer-lukan pengorbanan dari
dirinya. Jelas ini sifat mulia dan terpuji.
Sikap dan sifat ini bisa kita jumpai pada orang-orang yang akidahnya
baik seperti sikap orang-orang anshor terhadap orang-orang Muhajirin
yang baru saja hijrah dari Makkah ke Madinah. Allah mengabadi-kannya
dalam firman-Nya:
“Dan orang-orang yang telah menempati kota (Madinah) dan telah beriman
(kaum Anshor) sebelum kedatangan kaum Muhajirin, mereka mencintai
orang-orang yang berhijrah. Dan mereka telah menaruh keinginan dalam
hati terhadap apa yang telah diberikan kepada kaum Muhajirin, walaupun
mereka dalam kesusahan, dan siapa yang dipelihara dari kekikiran itulah
orang-orang yang beruntung. (QS. Al-Hasyr : 9).
Demikianlah Rasulullah Shallalla-hu’alaihi wa sallam sejak awal
tumbuhnya Islam telah meletakkan dasar-dasar kepe-kaan sosial,
kebersamaan dan persaudaraan yang hakiki. Persaudaraan dan rasa
keber-samaan yang bukan karena keuntungan materi dan fanatisme kesukuan
atau ashobi-yah yang biasanya ditandai persamaan ras, warna kulit atau
bahasa. Tetapi oleh rasa ukhuwwah islamiyah, sikap jiwa yang tumbuh dari
kesadaran iman bahwa manusia itu ummat yang satu, yang tidak bisa hidup
sendiri, dan terikat pada ketergantungan hidup satu sama lain. Kita
lihat bagaimana rasa kebersamaan dan keikhlasan kaum Anshor merelakan
separoh hartanya, separoh dari milinya diberikan pada saudaranya kaum
Muhajir, saudara seiman seakidah.
Lebih jauh dari sekadar arti persaudaraan yang dapat mengikat antar
pribadi sahabat Rasulullah, tetapi rasa kebersamaan itu menjadi tonggak
dan pilar kokoh yang mampu mendukung perjuangan menghadapi
tantangan-tantangan dan mampu mengenyahkan kesombongan, kedzaliman dan
ke-musyrikan yang telah bercokol bertahun-tahun di negri yang tandus
itu.
Begitu pentingnya rasa kebersamaan ini sehingga Allah menetapkan sebagai :
1. Standar nilai;
Sebagaimana firman-Nya : Mereka diliputi kehinaan dimana saja mereka
berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Alah dan tali
perjanjian dengan manusia” (Ali Imran : 112).
2. Pengikat Hati
“Dan berpegang teguhlah kamu sekalian dengan tali (agama) Allah seraya
berjamaah, dan janganlah kamu berfirqoh-firqoh. Dan ingatlah akan nimat
Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyyah) bermusuh-musuhan,
maka Allah menjinakkan antara hatimu. Lalu menjadikan kamu karena nikmat
Allah orang-orang yang bersaudara dan kamu telah berada di tepi jurang
api neraka. Kemudian Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah
Allah menerangkan ayat-ayatnya kepada mu agar kamu mendapat petunjuk.
(QS. Ali-Imran : 103)
Ayat ini menjelaskan bahwa; Berpegang teguh dengan tali Allah artinya
mengamalkan syareat Islam atau kitabullah yaitu Al-Qur’an dengan
konsekuen.
Jamii’an ialah merupakan keterangan bagaimana caranya orang berpegang
teguh dengan tali Allah yaitu dengan cara berjama’ah (bersama-sama) dan
dilarang berfirqoh-firqoh. Hidup berjama’ah adalah nikmat Allah dimana
hati yang dulunya bermusuhan dapat diikat denganikatan ukhuwwah
Islamiyah (penuh persaudaraan dan rasa kebersamaan). Rasa kebersamaan
dan persaudaraan Islam yang diterapkan dlam kehidupan Al-Jama’ah
penangkal dan obat sekaligus jalan keluar dari ikhtilaf dan sikap
bermusuhan yang dapat menyelamatkan seseorang dari jurang neraka.
Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam telah bersabda :
“Berjama’ah itu rahmat dan berfirqoh firqoh itu adzab” (HR. Ahmad).
“Barang siapa ingin berada di tengah syurga maka tetapilah Al-Jamaah” (HR. Tirmidzi).
Kemudian tegas-tegas Allah melarang firqoh;
“Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang berfirqoh-firqoh. Dan
berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka
itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat”. (QS. Ali Imran :
105)
Mencintai sesama
“Dan Anas r.a. Dari Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi wa sallam
bersabda. “Demi Dzat yang diriku ditangan-Nya tidak dinamakan beriman
sehingga ia mencintai sesama jirannya seperti apa yang ia menyukai untuk
dirinya sendiri” (HR. Muttafaq’Alaih)
Dan dalam hadist yang lain :
“Dari Abdullah bin Salam ia berkata : “Telah bersabda Rasulullah
Shallallahu’alaihi wa sallam: “Hai Manusia syiarkanlah salam
(kesejahteraan dan kedamaian) dan hubungilah keluarga-keluarga dan
berilah makan (orang miskin) dan sholatlah malamketika manusia sedang
tidur. Niscaya kamu masuk surga dengan sejahtera”. (Hadis dikeluarkan
oleh Tirmidzi dan ia menshohehkannya).
· Ufsyus salam, yang artinya tebarkan salam adalah dimaksudkan agar
manusia dapat menciptkan suasana sejahtera, aman, selamat dan damai pada
dirinya sendiri, lingkungan dan kepada manusia pada umumnya. Kita bisa
melihat akibat positif perbuatan orang yang hatinya damai dan sejahtera,
apa yang keluar dari hatinya, apa yang dikatakannya dan apa yang
menjadi keputusan dan prilakunya akan memberi suasana penuh kedamaian,
aman dan sejahtera dalam kehidupan ini.
· Washillul Arham, menghubungkan kasih sayang kepada sesama dan memberi
makan kepada fakir miskin kemudian disempurnakan dengan sholat di waktu
mkam dikala manusia sedang tidur. Adalah aqidah dan karakter setiap
muslim yang memupuk tumbuh suburnya sifat Itsariyah dan kepedulian
sosial, solidaritas ukhuwwah islamiyah dan lingkungan sekaligus sama
sekali tidak memberikan peluang tumbuhnya sifat Ananiyah, angkuh dan
sombong.
Cara Menekan Sikap Ananiyah
Untuk menekan sikap ananiyah dapat kita lakukan dengan cara menghidupkan dan mengembangkan sikap itsariyah yaitu dengan :
1. Menyadarkan diri bahwa manusia itu diciptakan sama dan mempunyai hak
yang sama. Kesadaran ini akan melahirkan sikap menghargai orang lain.
Menghargai orang lain artinya mengenal, memahami sekaligus mencintai
sesama.
2. Membiasakan diri untuk bershodaqoh dan beramal untuk orang lain.
3. Menyadari bahwa manusia hidup membutuhkan orang lain. Dia harus
merelakan dirinya karena dirinya merupakan bagian dari satu sistem
kehidupan yang saling membutuhkan.
4. Menekan hawa nafsu dan memupuk sikap tenggang rasa dan belas kasihan.
5. Menyadari bahwa hidup adalah pengabdian, setiap pengabdian diperlukan
perjuangan dan setiap perjuangan memerlukan pengorbanan dan teman.
6. Menyadari bahwa sikap ananiyah bila dibiarkan akan mengarah pada
sikap congkak dan takabur yang membinasakan dan dibenci oleh Allah.
7. Menanamkan dan membiasakan diri dengan sikap tawadhu, syukur, ikhlas
dan tasamuh karena sifat-sifat tersebut akan mengikis habis sifat-sifat
ananiyah.
8. Menghayati dan mendalami setiap butiran perintah ibadah secara universal, seperti ibadah sholat, shoum, zakat dll.
Minggu, 03 Maret 2013
ANANIYAH
Diposting oleh adhe di 23.17
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar